Minggu, 02 Maret 2014

Rijalul Ansor VI



Ans Tamanharjo—Dalam kegiatan melestarikan Budaya Nahdlotul Ulama, GP Ansor Ranting Tamanharjo tetap istiqomah mengadakan kegiatan. Pada bulan maret ini, Dusun Damean menjadi tuan rumah untuk acara  Rijalul Ansor yang di adakan tiap bulan.
Acara ini diadakan di Langgar waqof Damean tepat di depan rumah bapak Yadi, salah satu tokoh Ansor Desa Tamanharjo yang pernah merintis kegiatan pemuda Ansor khususnya di Dusun Damean Desa Tamanharjo.
Seperti yang telah di lakukan pada kegiatan Rijalul Ansor pada edisi sebelumnya, acara di mulai dengan pembacaan khotmil qur’an pada pagi hari (07.00-13.00) dan mendo’akan arwah penduduk setempat. Kemudian ba’da isya di lanjutkan dengan membaca sholawat dan santunan kepada anak yatim /piatu yang berdomisili di sekitar langgar waqof ( rt-rt sekitar) dan di lanjutkan dengan mau’idhoh khasanah di mana Ustadz Slamet Hariono (Ketua MWC NU Singosari) sebagai muballighnya.
Sebelum memulai taushiyahnya, Ustadz Slamet Hariono mengajak jama'ah untuk membaca fatehah karena meninggalnya salah satu tokoh NUyang sekarang menjabat Rais Syuriyah PBNU KH Masduqi Mahfudz  pada hari tersebut.

Ustadz Slamet hariono menyampaikan tentang pentingnya membaca sholawat kepada Nabi Muhammad SAW.  Beliau menukil ayat alqur’an :
إِنَّ اللَّهَ وَ مَلَئكتَهُ يُصلُّونَ عَلى النَّبىّ‏ِ يَأَيهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صلُّوا عَلَيْهِ وَ سلِّمُوا تَسلِيماً
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi; wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu kepadanya dan ucapkan salam kepadanya.” (Al-Ahzab/33: 56)
Oleh karenanya budaya membaca sholawat ini hendaknya tidak di lakukan hanya saat ada kegiatan, namun juga bisa di bawa pada kehidupan sehari-hari.
 

ZIARAH KUBUR DAN SHOLAT JAMA' QASHAR


I.   ZIARAH KUBUR

PENGERTIAN ZIARAH KUBUR
Ziarah kubur ialah berkunjung ke makam/pesarean orang Islam yang sudah wafat, baik orang muslim biasa, orang shalih, ulama, wali atau Nabi.

HUKUM ZIARAH KUBUR
Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa hukum ziarah kubur bagi kaum laki-laki itu hukumnya sunat secara mutlak, baik yang diziarahi itu kuburnya orang Islam biasa, kuburnya para wali, orang shalih atau kuburnya Nabi.
Sedangkan hukum ziarah kubur bagi kaum perempuan yang telah mendapat izin dari suaminya atau walinya, para ulama mantafsil sebagai berikut :
1.     Jika ziarahnya tidak menimbulkan hal yang terlarang dan yang diziarahi itu kuburnya Nabi, wali, ulama dan orang shalih, maka hukumnya sunat;
2.    Jika ziarahnya tidak menimbulkan hal yang terlarang dan yang diziarahi itu kuburnya orang biasa, maka sebagian ulama mengatakan boleh, sebagian lagi mengatakan makruh.
3.   Jika ziarahnya menimbulkan hal yang terlarang, maka hukumnya haram.

DASAR HUKUM ZIARAH KUBUR
a.    Hadits Nabi SAW.
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزورها فإنها ترق القلب وتدمع العين وتذكر الآخرة، ولا تقولوا هجرا. [رواه الحاكم]
Artinya :
“Aku (Nabi) dulu melarang kamu ziarah kubur, maka sekarang berziarahkuburlah kamu, karena ziarah kubur itu bisa melunakkan hati, bisa menjadikan air mata bercucuran dan mengingatkan adanya alam akhirat, dan janganlah kamu berkata buruk”. (HR. Hakim)
b.    Hadits Nabi SAW.
عن عائشة رضي الله عنها قالت : كان النبي صلى الله عليه وسلم كلما كانت ليلتها يخرج من آخر الليل إلى البقيع فيقول : السلام عليكم دار قوم مؤمنين وأتاكم ما توعدون غدا مؤجلون وإنا إن شاء الله بكم لاحقون، اللهم اغفر لأهل بقيع الغقد. [رواه مسلم]
Artinya :
“Dari A’isyah ra. ia berkata : “adalah Nabi SAW. ketika sampai giliran beliau padanya (A’isyah) beliau keluar pada akhir malam hari itu ke kuburan Baqi’ seraya berkata : “Assalamu’alaikum hai tempat bersemayam kaum mukminin. Akan datang kepada kamu janji Tuhan yang ditangguhkan itu besok, dan kami Insya Allah akan menyusul kamu. Hai Tuhan ampunilah ahli Baqi’ al-Gharqad”. (HR. Muslim)

c.    Fatwa Syaikh Amin al-Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub :
تسن زيارة قبور المسلمين للرجال لأجل تذكر الموت والآخرة وإصلاح فساد القلب ونفع الميت بما يتلى عنده من القرآن لخبر مسلم : كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزورها. ولقوله عليه الصلاة والسلام : اطلع في القبور واعتبر في النشور. رواه البيهقي خصوصا قبور الأنبياء والأولياء وأهل الصلاح. وتكره من النساء لجزعنهن وقلة صبرهن، ومحل الكراهة إن لم يشتمل اجتماعهن على محرم وإلا حرم، ويندب لهن زيارة قبره صلى الله عليه وسلم وكذا سائر الأنبياء والعلماء والأولياء. اهـ [تنوير القلوب : 216]
Artinya :
“Disunatkan bagi kaum laki-laki berziarah kuburnya orang-orang Islam untuk mengingat datangnya kematian dan adanya alam akhirat, serta memperbaiki hati yang buruk dan memberi manfaat kepada mayit dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an di tempat yang dekat dengannya, karena ada hadits riwayat Muslim yang artinya : “Aku (Nabi) dulu melarang kamu berziarahkubur, maka sekarang berziarahkuburlah kamu”. Dan juga sabda Nabi yang artinya : “Berziarahlah kubur kamu dan ambillah tauladan tentang adanya hari kebangkitan”. (HR. Muslism). Khususnya kuburan para Nabi, para wali dan orang-orang shalih. Sedangkan bagi kamu wanita ziarah kubur hukumnya makruh, karena mereka mudah meratap dan sedikit yang sabar. Makruh bagi wanita tersebut apabila ziarah mereka itu tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, kalau mengandung hal-hal yang diharamkan, maka ziarah mereka hukumnya haram. Bagi wanita berziarah kubur ke makam Nabi Muhammad SAW. dan juga nabi-nabi yang lain demikian pula makam para ulama dan para wali hukumnya sunat”.

d.   Fatwa Syaikh Ali Ma’shum dalam kitabnya “Hujjatu Ahlissunnah” bab ziarah kubur :
واختلف في زيارة النساء للقبور، فقال جماعة من أهل العلم بكراهيتها كراهة تحريم أو تنزيه لحديث أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لعن زوارات القبور. رواه أحمد وابن ماجه والترمذي. وذهب الأكثرون إلى الجواز إذا أمنت الفتنة، واستدلوا بما رواه مسلم عن عائشة قالت : كيف أقول يا رسول الله إذا زرت القبور؟ قولي : السلام عليكم أهل ديار المسلمين. اهـ [حجة أهل السنة للشيخ على معصوم : 58]
Artinya:
"Para ulama berselisih pendapat mengenai kaum wanita berziarah kubur, Segolongan ulama mengatakan makruh tahrim atau tanzih, karena ada Hadits riwayat Abu Hurairah bahwa Rusulullah SAW. mengutuk wanita-wanita yang berziarah kubur. (HR. Ibun Majah dan Tirmidzi). Sementara mayoritas ulama mengatakan boleh, apabila terjamin keamanannya dari fitnah, Dalilnya yaitu hadits riwayat Muslim dari Siti A’isyah ra dia berkata : apa yang say abaca ketika ziarah kubur, hai rasul? Rasul bersabda : bacalah Assalamu’alaikum Ahla Diyaril Muslimin”.

HIKMAH ZIARAH KUBUR
Ada sebagian orang mengatakan “buat apa kita susah-susah datang ke kuburan untuk menziarahi makam seseorang, toh ! berdo’a di rumah saja sudah cukup, sehingga saat-saat yang penting tidak kita tinggalkan untuk berziarah saja.
Perkataan ini sepintas kilas memang seakan-akan benar,  tapi orang yang berkata tadi rupa-rupanya lupa bahwa ziarah kubur itu mengandung banyak hikmah bagi orang yang berziarah dan mayit yang diziarahi. Hikma-hikmah itu antara lain:
a.  Mengingatkan orang yang masih hidup di dunia ini akan datangnya kematian yang sewaktu-waktu pasti tiba pada saatnya;
b.  Mernpertebal keimanan terhadap adanya alam akhirat, sehingga orang itu meningkat ketaqwaannya kepada Allah SWT.;
c.  Memperba'iki hati yang buruk/mental yang rusak, sehingga pada akhirnya nanti orang itu sadar akan perlunya mempererat hablum
minallah
dan hablum minannas.
d.  Memberi manfaat kepada mayit secara khusus dan ahli kubur secara umum berupa pahala dari bacaan Al-Qur’an, kalimah Thoyyibah, Istighfar, shalawat Nabi dan lain-lain.

ADAB KESOPANAN BERZIARAH KUBUR
Pada saat berziarah kubur, sebaiknya kita melakukan adab kesopanan sebagai berikut :
a.  Pilihlah saat-saat yang afdlol, misalnya pada hari Jum’at, pada hari raya dan lain-lain;
b.  Bacalah salam ketika masuk pintu pekuburan untuk para ahli kubur secara umum dan untuk mayit yang diziarahi secara khusus;
c.  Bacalah surat Yasin atau ayat Al-Qur’an yang lain, kalimah thoyyibah serta do’a semoga Allah SWT. menerima amal shalih si mayit dan mengampuni dosa-dosanya;
d.  Mengambil pelajaran, bahwa kita akan mengalami seperti apa yang dialami oleh mayit yang kita ziarahi (masuk ke dalam liang kubur, berada di alam barzah sampai datang hari kiamat nanti).






II.               QASHAR DAN JAMA’

Q.S An Nisaa (4): 101
101.  Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Dari Ya’la bin Umayyah r.a., bahwasanya dia pernah bertanya kepada Umar bin Khattab r.a, katanya: “bagaimana pendapat Anda tentang ayat : An Nisa’ ayat 101. Bukankah sekarang telah aman?” Jawab Umar, “ Aku juga pernah memikirkan apa yang engkau pertanyakan itu. Lalu kutanyakan langsung kepada Rasulullah S.A.W. Jawab Beliau: “Hal itu adalah suatu kelapangan dari Allah yang dikaruniakanNya kepadamu, maka terimalah kemurahan itu.” (Shahih Muslim:647) 
Qashar adalah meringkas shalat empat rakaat (zhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat. (Tafsir ath-Thabari 4/244)
Dasar men-qashar shalat adalah Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' (kesepakatan para ulama). (Al-Mughni 3/104)

Qashar:         Meringkas jumlah raka’atnya shalat yang empat raka’at (Dhuhur, ‘Ashar, Isya’) dilakukan menjadi dua raka’at.
Jama    :     Mengumpulkan dua shalat (Dhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya’) dilakukan di salah satu waktu dari dua shalat yang di jama’

Bila pelaksanaannya di waktu shalat yang awal dinamakan Jama’ Taqdim
Dari Ibnu Abbas r.a., berkata: “Bahwasanya Nabi S.A.W selalu didalam Safar, (bepergian) apabila tergelincir matahari Beliau masih ditempatnya niscaya Beliau kumpulkan diantara Dhuhur dan Ashar, sebelum berangkat. Dan apabila matahari belum tergelincir di waktu Beliau akan berangkat, Beliau terus pergi. Dan ketika telah datang Ashar Beliau berhenti lalu menjama’kan Dhuhur dengan Ashar. Dan ketika telah datang Maghrib ditempatnya, Beliau mengumpulkan antara Maghrib dengan Isya’ dan apabila belum datang Maghrib Beliau masih di tempatnya Beliau terus berangkat. Di dalam waktu Isya’ Beliau berhenti, lalu menjama’kan antara keduanya (H.R Ahmad)

Bila pelaksanaannya di waktu shalat yang akhir dinamakan Jama’ Ta’khir
Dari Anas Ibnu Malik berkata: ”Rasulullah S.A.W Apabila berangkat sebelum tergelincir matahari, Beliau menggabungkan dhuhur ke waktu Ashar. Di waktu Ashar Beliau berhenti, lalu manjama’kan antara keduanya jika Beliau berangkat sesudah tergelincir matahari, Beliau mengerjakan dulu dhuhur sesudah itu barulah Beliau berangkat.” (H.R Bukhori Muslim)
Syarat Qashar Dan Jama’
(Dalam perjalanan yang bukan maksiat dan sekurang-kurangnya 80,640 km)
Dari Syu’bah dia berkata, “ Saya telah bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat. Jawabnya, Rasulullah S.A.W “Apabila menempuh jarak perjalanan tiga farsakh Beliau shalat dua raka’at.” (H.R Ahmad, Muslim dan Abu Daud)

Ø  Contoh pelaksanaan shalat jama’ taqdim (Dzuhur dan Ashar) sekaligus Qashar
Niat: Ushalli fardhadz dzuhri majmuu’an ilaihil ‘ashru jam’a taqdimin qashran lillahi ta’ala. (Allahu Akbar)
Aku menyengaja melaksanakan shalat fardhu dhuhur dengan shalat ashar jama’ taqdim dan qashar karena Allah ta’ala.
Setelah dapat dua raka’at shalat dhuhur, lalu salam. Kemudian langsung berdiri takbiratul ihram untuk shalat ashar dua raka’at lalu ditutup dengan salam.

Ø  Contoh pelaksanaan shalat jama’ taqdim (maghrib dan ‘isya) sekaligus Qashar
Niat: Ushalli fardhal maghribi majmuu’an ilaihil ‘isya’i jam’a taqdimin qashran lillahi ta’ala. (Allahu Akbar)
Aku menyengaja melaksanakan shalat fardhu maghrib dengan shalat isya’ jama’ taqdim dan qashar karena Allah ta’ala.
Setelah dapat tiga raka’at shalat maghrib lalu salam, kemudian langsung berdiri takbiratul ihram untuk shalat isya’ dua raka’at lalu ditutup dengan salam.

Ø  Contoh pelaksanaan shalat jama’ takhir (Dzuhur dan Ashar) sekaligus Qashar
Niat: Ushalli fardhadz dzuhri majmuu’an bil ‘ashri jam’a takhirin qashran lillahi ta’ala. (Allahu Akbar)
Aku menyengaja melaksanakan shalat fardhhu dhuhur dengan shalat ashar jama’ takhir dan qashar karena Allah ta’ala.
Setelah dapat dua raka’at shalat dhuhur lalu salam, kemudian langsung berdiri takbiratul ihram untuk shalat asar dua raka’at. Lalu ditutup dengan salam

Ø  Contoh pelaksanaan shalat jama’ takhir (maghrib dan ‘isya) sekaligus qashar
Niat: Ushalli fardhal maghribi majmuu’an bil ‘isya’i jam’a ta’khirin qashran lillahi ta’ala. (Allahu Akbar)
Aku menyengaja melaksanakan shalat fardhu maghrib dengan shalat isya’ jama’ ta’khir dan qashar karena Allah ta’ala.
Setelah dapat tiga raka’at shalat maghrib lalu salam, kemudian langsung berdiri takbiratul ihram untuk shalat isya’ dua raka’at. Lalu ditutup dengan salam.

Allah berfirman,
"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar salatmu, jika kamu takut di serang orang-orang kafir" ( QS. An-Nisaa': 101)
Dari Ya'la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar ibnul Kaththab tentang ayat ini seraya berkata: "Jika kamu takut di serang orang-orang kafir", padahal manusia telah aman ?!. Sahabat Umar menjawab: “Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal itu dan beliau menjawab: (Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimahlah sedekah Allah tersebut”” (HR. Muslim)
Dari Ibnu Abbas berkata: “Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu shallallahu ‘alaihi wasallam empat raka'at apabila hadhar (mukim) dan dua raka'at apabila safar" (HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud)
Dari Umar berkata: “Shalat safar (musafir) adalah dua raka'at, shalat Jum'at adalah dua raka'at dan shalatIed adalah dua raka'at" (HR. Ibnu Majah dengan sanad shahih, lihat Shahih Ibnu Majah 871)
Dari Ibnu Umar berkata:Aku menemani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar dan beliau tidak pernah menambah atas duaraka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah subhanahu wa ta'ala telah berfirman :Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu." (Al-Ahzaab : 21) (HR. Bukhari dan Muslim)
Berkata Anas bin Malik: Kami pergi bersama Rasulullah dari kota Madinah ke kota Mekkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jarak Shafar yang Dibolehkan Men-qashar

Qashar hanya boleh di lakukan oleh musafir -baik safar dekat atau safar jauh-, karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa di sebut safar menurut pengertian umumnya. Sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari delapan puluh kilo meter agar tidak terjadi kebingunan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil sahih yang jelas. (Pendapat Ibn Hazm, Ibnul Qayyim, dll. Sebagaimana dalam Kitab As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 160-161, Al-Wajiz, Abdul ‘Azhim Al-Khalafi 138)
Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menetukan jarak atau batasan diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut –yaitu sekitar 80 atau 90 kilo meter-, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para imam dan ulama yang layak berijtihad. (Majmu' Fatawa wa Rasail Syaikh Utsaimin 15/265)
Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampung halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. (Kitab Al-Wajiz, Abdul ‘Azhim al-Khalafi)
Berkata Ibnul Mundzir: Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.
Berkata Anas: Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di kota Madinah empat raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka'at" (HR. Bukhari dan Muslim)
Sampai Kapan Musafir Dibolehkan Men-qashar?
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan meng-qashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-sa'di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk meng-qashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:
Jabir meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari men-qashar shalat. (HR. Ahmad dengan sanad shahih)
Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari meng-qashar shalat. (HR. Bukhari)
Nafi' rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar tinggal di Azerbaijan selama enam bulan men-qashar shalat. (HR. Baihaqi dengan sanad shahih)
Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya meng-qashar shalat bagi musafir (perantau) selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerahperantauan tersebut. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin dan Irwa’ul Ghalil Syaikh Al-Albani)
Shalat Tathawwu, Nafilah, atau Shalat Sunnah bagi Musafir
Jumhur ulama (mayoritas) berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat nafilah/ tathawwu bagi musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah yang merupakan sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) maupun yang lainnya. Dalil mereka adalah bahwasanya Rasulullah shalat delapan raka’at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu Makkah dan beliau dalam keadaan safar. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang di syari'atkan adalah meninggalkan (tidak mengerjakan) shalat sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) saja ketika safar, dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar bahwasanya beliau melihat orang-orang (musafir) yang shalat sunnah rawatib setelah selesai shalat fardhu, maka beliaupun berkata: Kalau sekiranya aku shalat sunnah rawatib setelah shalat fardhu tentulah aku akan menyempurnakkan shalatku (maksudnya tidak mengqashar). Wahai saudaraku, sungguh aku menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta'ala telah berfirman : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu” (QS. Al-Ahzaab: 21) (HR. Bukhari. Lihat Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim 1/315-316, 473-475, Fiqhus Sunah 1/312-313, Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/223-229. Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/254)
Adapun shalat-shalat sunnah/nafilah/tathawwu' lainnya seperti shalat malam, witir, sunnah fajar, dhuha, shalat yang ada sebab –sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid- dan tathawwu muthlak adalah tidak mengapa dilakukan dan bahkan tetap di syari'atkan berdasarkan hadis-hadis sahih dalam hal ini. (Kitab As-Shalah, Abdullah Ath-Thayyar)
Jama’
Menjama' shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan 'Isya') dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan jama' taqdim dan jama'ta'khir.
Jama' taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama, yaitu; Zhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Zhuhur, Maghrib dan 'Isya' dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama' taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.
Adapun jama' ta'khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu; zhuhur dan ashar dikerjakan dalam waktu ashar, Maghrib dan 'Isya'dikerjakan dalam waktu, Isya', Jama' ta'khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 177)
Menjama' shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya - baik musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan saja.
Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama' shalatnya dalah musafir ketika masih dalan perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan, turunnya hujan, dan orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/310, Al-Wajiz, Abdul Azhim bin Badawi Al-Khalafi 139-141)
Berkata Imam Nawawi: “Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama' shalatnya apabila di perlukan asalkan tidak di jadikan sebagai kebiasaan." (Syarh Muslim, Imam Nawawi 5/219)
Dari Ibnu Abbas berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama antara zhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan isya' di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas beliau menjawab: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ingin memberatkan ummatnya. (Shahihul Jami’ 1070)
Menjama’ Jum’at dengan Ashar
Tidak diperbolehkan menjama' (menggabung) antara shalat Jum'at dan shalat Ashar dengan alasan apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan menjama' antara zhuhur dan ashar.

Hal ini di sebabkan tidak adanya dalil tentang menjama' antara Jum'at dan Ashar, dan yang ada adalah menjama' antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya'. Jum'at tidak bisa diqiyaskan dengan zhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barang siapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak. (HR. Bukhari 2697 dan Muslim 1718)
Dalam riwayat lain: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak. (HR. Muslim)
Jadi kembali kepada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama’ (menggabungnya) dengan shalat lain. (Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/ 369-378)
Jama’ Sekaligus Qashar
Tidak ada kelaziman antara jama' dan qashar. Musafir di sunnahkan mengqashar shalat dan tidak harus menjama', yang afdhal bagi musafir yang telah menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah mengqashar saja tanpa menjama' sebagaimana dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada di Mina pada waktu haji wada', yaitu beliau hanya mengqashar saja tanpa menjama, (lihat dalam Shifat Haji Nabi, karya Syaikh Al-Albani) dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan jama'sekaligus qashar pada waktu perang Tabuk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu melakukan jama' sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan (Pendapat Syaikh Bin Baz dan ulama lain, lihat Kitab As-Shalah, Abdullah At-Thayyar). Jadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedikit sekali menjama' shalatnya karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya ketika diperlukan saja. (Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/ 308)
Musafir Shalat di Belakang Imam yang Mukim
Shalat berjama’ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat di belakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat rakaat, namun apabila dia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua raka'at). Hal ini di dasarkan atas riwayat sahih dari Ibnu Abbas. Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya: Kami melakukan shalat empat raka'at apabila bersama kamu (penduduk Mekkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka'at ? Ibnu Abbas menjawab: Itu adalah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam)”¨ (HR. Ahmad dengan sanad shahih, lihat Irwa'ul Ghalil no 571)
Musafir Menjadi Imam bagi yang Mukim
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (empat raka'at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka'at. Hal ini pernah di lakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Mekkah, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Mekkah ! Karena kami adalah musafir.” (HR. Abu Daud)
Beliau shallallahu  alaihi wa'ala alihi wasallam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka'at setelah beliau salam. (Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269)
Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat empat raka'at (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah sunnah mu'akkadah dan bukan wajib. (Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al- Bassam 2/294-295)
Shalat Jum’at bagi Musafir
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi usafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum'at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat um'at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi'i, Ats-Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al-Majmu' Syarh Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370)
Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam apabila safar (bepergian) tidak shalat Jum'at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada' Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melaksanakan shalat Jum'at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama' (digabung) dengan Ashar. Demikian pula para Khulafa Ar-Rasyidun (empat khalifah) dan para sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhuma serta orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum'at dan menggantinya dengan zhuhur.
Dari Al-Hasan Al-Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: “Aku tinggal bersama dia (Al-Hasan Al-Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat Jum'at"
Sahabat Anas tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum'at.
Ibnul Mundzir -rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah Ijma' (kesepakatan para ulama') yang berdasarkan hadis sahih dalam hal ini sehingga tidak di perbolehkan menyelisihinya. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216.)
Wallahu A'lam.