I.
ZIARAH
KUBUR
PENGERTIAN ZIARAH KUBUR
Ziarah kubur ialah berkunjung ke makam/pesarean orang Islam yang
sudah wafat, baik orang muslim biasa,
orang shalih, ulama, wali atau Nabi.
HUKUM ZIARAH KUBUR
Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa hukum ziarah kubur bagi kaum
laki-laki itu hukumnya sunat secara mutlak, baik yang diziarahi itu kuburnya
orang Islam biasa, kuburnya para wali, orang shalih atau kuburnya Nabi.
Sedangkan hukum ziarah kubur bagi kaum perempuan yang telah
mendapat izin dari suaminya atau walinya, para ulama mantafsil
sebagai berikut :
1. Jika ziarahnya tidak menimbulkan hal
yang terlarang dan yang diziarahi itu kuburnya Nabi, wali, ulama dan orang
shalih, maka hukumnya sunat;
2. Jika ziarahnya tidak menimbulkan hal yang
terlarang dan yang diziarahi itu kuburnya orang biasa, maka sebagian ulama
mengatakan boleh, sebagian lagi mengatakan makruh.
3. Jika ziarahnya menimbulkan hal yang terlarang, maka
hukumnya haram.
DASAR HUKUM ZIARAH KUBUR
a. Hadits Nabi SAW.
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزورها فإنها ترق القلب وتدمع العين
وتذكر الآخرة، ولا تقولوا هجرا. [رواه الحاكم]
Artinya :
“Aku (Nabi)
dulu melarang kamu ziarah kubur, maka sekarang berziarahkuburlah kamu, karena
ziarah kubur itu bisa melunakkan hati, bisa menjadikan air mata bercucuran dan
mengingatkan adanya alam akhirat, dan janganlah kamu berkata buruk”. (HR.
Hakim)
b. Hadits Nabi SAW.
عن عائشة رضي الله عنها قالت : كان النبي صلى الله عليه وسلم كلما كانت ليلتها يخرج من آخر الليل إلى البقيع فيقول : السلام عليكم دار قوم مؤمنين وأتاكم ما توعدون غدا مؤجلون وإنا إن شاء الله بكم لاحقون، اللهم اغفر لأهل بقيع الغقد. [رواه مسلم]
Artinya :
“Dari A’isyah ra. ia berkata : “adalah
Nabi SAW. ketika sampai giliran beliau padanya (A’isyah) beliau keluar pada
akhir malam hari itu ke kuburan Baqi’ seraya berkata : “Assalamu’alaikum
hai tempat bersemayam kaum mukminin. Akan datang kepada kamu janji Tuhan yang
ditangguhkan itu besok, dan kami Insya Allah akan menyusul kamu. Hai Tuhan
ampunilah ahli Baqi’ al-Gharqad”. (HR. Muslim)
c. Fatwa Syaikh Amin al-Kurdi dalam kitabnya
Tanwirul Qulub :
تسن زيارة قبور المسلمين للرجال لأجل تذكر الموت والآخرة وإصلاح فساد القلب ونفع الميت بما يتلى عنده من القرآن لخبر مسلم : كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزورها. ولقوله عليه الصلاة والسلام : اطلع في القبور واعتبر في النشور. رواه البيهقي خصوصا قبور الأنبياء والأولياء وأهل الصلاح. وتكره من النساء لجزعنهن وقلة صبرهن، ومحل الكراهة إن لم يشتمل اجتماعهن على محرم وإلا حرم، ويندب لهن زيارة قبره صلى الله عليه وسلم وكذا سائر الأنبياء والعلماء والأولياء. اهـ [تنوير القلوب : 216]
Artinya :
“Disunatkan
bagi kaum laki-laki berziarah kuburnya orang-orang Islam untuk mengingat
datangnya kematian dan adanya alam akhirat, serta memperbaiki hati yang buruk
dan memberi manfaat kepada mayit dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an di tempat
yang dekat dengannya, karena ada hadits riwayat Muslim yang artinya : “Aku
(Nabi) dulu melarang kamu berziarahkubur, maka sekarang berziarahkuburlah
kamu”. Dan juga sabda Nabi yang artinya : “Berziarahlah kubur kamu dan ambillah
tauladan tentang adanya hari kebangkitan”. (HR. Muslism). Khususnya kuburan
para Nabi, para wali dan orang-orang shalih. Sedangkan bagi kamu wanita ziarah
kubur hukumnya makruh, karena mereka mudah meratap dan sedikit yang sabar.
Makruh bagi wanita tersebut apabila ziarah mereka itu tidak mengandung hal-hal
yang diharamkan, kalau mengandung hal-hal yang diharamkan, maka ziarah mereka
hukumnya haram. Bagi wanita berziarah kubur ke makam Nabi Muhammad SAW. dan
juga nabi-nabi yang lain demikian pula makam para ulama dan para wali hukumnya
sunat”.
d. Fatwa Syaikh Ali Ma’shum dalam kitabnya “Hujjatu
Ahlissunnah” bab ziarah kubur :
واختلف في زيارة النساء للقبور، فقال جماعة من أهل العلم بكراهيتها كراهة تحريم أو تنزيه لحديث أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لعن زوارات القبور. رواه أحمد وابن ماجه والترمذي. وذهب الأكثرون إلى الجواز إذا أمنت الفتنة، واستدلوا بما رواه مسلم عن عائشة قالت : كيف أقول يا رسول الله إذا زرت القبور؟ قولي : السلام عليكم أهل ديار المسلمين. اهـ [حجة أهل السنة للشيخ على معصوم : 58]
Artinya:
"Para
ulama berselisih pendapat mengenai kaum wanita berziarah kubur, Segolongan ulama
mengatakan makruh tahrim atau tanzih, karena ada Hadits riwayat Abu Hurairah
bahwa Rusulullah SAW. mengutuk wanita-wanita yang berziarah kubur. (HR. Ibun Majah dan
Tirmidzi). Sementara mayoritas ulama mengatakan boleh, apabila terjamin keamanannya
dari fitnah, Dalilnya yaitu
hadits riwayat Muslim dari Siti A’isyah ra dia berkata : apa yang say abaca
ketika ziarah kubur, hai rasul? Rasul bersabda : bacalah Assalamu’alaikum Ahla
Diyaril Muslimin”.
HIKMAH ZIARAH KUBUR
Ada sebagian orang mengatakan “buat apa kita susah-susah datang ke
kuburan untuk menziarahi makam seseorang, toh ! berdo’a di rumah saja sudah cukup,
sehingga saat-saat yang penting tidak kita tinggalkan untuk berziarah saja.
Perkataan ini sepintas kilas memang seakan-akan benar, tapi
orang yang berkata tadi rupa-rupanya lupa bahwa ziarah kubur itu mengandung
banyak hikmah bagi orang yang berziarah dan mayit yang diziarahi. Hikma-hikmah itu antara lain:
a. Mengingatkan
orang yang masih hidup di dunia ini akan datangnya kematian yang
sewaktu-waktu pasti tiba pada saatnya;
b. Mernpertebal
keimanan terhadap adanya alam akhirat, sehingga orang itu meningkat
ketaqwaannya kepada Allah SWT.;
c. Memperba'iki
hati yang buruk/mental yang rusak, sehingga pada akhirnya nanti orang itu sadar
akan perlunya mempererat hablum
minallah dan hablum minannas.
d. Memberi
manfaat kepada mayit secara khusus dan ahli kubur secara umum berupa pahala
dari bacaan Al-Qur’an, kalimah Thoyyibah, Istighfar, shalawat Nabi dan
lain-lain.
ADAB KESOPANAN BERZIARAH KUBUR
Pada saat berziarah kubur, sebaiknya kita melakukan adab kesopanan
sebagai berikut :
a. Pilihlah saat-saat yang afdlol, misalnya pada hari Jum’at,
pada hari raya dan lain-lain;
b. Bacalah salam ketika masuk pintu pekuburan
untuk para ahli kubur secara umum dan untuk mayit yang diziarahi secara khusus;
c. Bacalah surat Yasin atau ayat Al-Qur’an yang
lain, kalimah thoyyibah serta do’a semoga Allah SWT. menerima amal shalih si
mayit dan mengampuni dosa-dosanya;
d. Mengambil pelajaran, bahwa kita akan mengalami
seperti apa yang dialami oleh mayit yang kita ziarahi (masuk ke dalam liang
kubur, berada di alam barzah sampai datang hari kiamat nanti).
Q.S An Nisaa (4): 101
101. Dan apabila kamu bepergian di
muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu
takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah
musuh yang nyata bagimu.
Dari Ya’la
bin Umayyah r.a., bahwasanya dia pernah bertanya kepada Umar bin Khattab r.a,
katanya: “bagaimana pendapat Anda tentang ayat : An Nisa’ ayat 101. Bukankah sekarang telah aman?” Jawab Umar, “
Aku juga pernah memikirkan apa yang engkau pertanyakan itu. Lalu kutanyakan
langsung kepada Rasulullah S.A.W. Jawab Beliau: “Hal itu adalah suatu
kelapangan dari Allah yang dikaruniakanNya kepadamu, maka terimalah kemurahan
itu.” (Shahih Muslim:647)
Qashar adalah meringkas
shalat empat rakaat (zhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat. (Tafsir
ath-Thabari 4/244)
Dasar men-qashar shalat
adalah Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' (kesepakatan para ulama). (Al-Mughni
3/104)
Qashar: Meringkas
jumlah raka’atnya shalat yang empat raka’at (Dhuhur, ‘Ashar, Isya’) dilakukan
menjadi dua raka’at.
Jama : Mengumpulkan
dua shalat (Dhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya’) dilakukan di salah
satu waktu dari dua shalat yang di jama’
Bila
pelaksanaannya di waktu shalat yang awal dinamakan Jama’ Taqdim
Dari Ibnu Abbas r.a., berkata: “Bahwasanya Nabi S.A.W selalu didalam Safar,
(bepergian) apabila tergelincir matahari Beliau masih ditempatnya niscaya
Beliau kumpulkan diantara Dhuhur dan Ashar, sebelum berangkat. Dan apabila
matahari belum tergelincir di waktu Beliau akan berangkat, Beliau terus pergi.
Dan ketika telah datang Ashar Beliau berhenti lalu menjama’kan Dhuhur dengan
Ashar. Dan ketika telah datang Maghrib ditempatnya, Beliau mengumpulkan antara
Maghrib dengan Isya’ dan apabila belum datang Maghrib Beliau masih di tempatnya
Beliau terus berangkat. Di dalam waktu Isya’ Beliau berhenti, lalu menjama’kan
antara keduanya (H.R Ahmad)
Bila
pelaksanaannya di waktu shalat yang akhir dinamakan Jama’ Ta’khir
Dari Anas
Ibnu Malik berkata: ”Rasulullah S.A.W Apabila berangkat sebelum tergelincir
matahari, Beliau menggabungkan dhuhur ke waktu Ashar. Di waktu Ashar Beliau
berhenti, lalu manjama’kan antara keduanya jika Beliau berangkat sesudah
tergelincir matahari, Beliau mengerjakan dulu dhuhur sesudah itu barulah Beliau
berangkat.” (H.R Bukhori Muslim)
Syarat Qashar Dan Jama’
(Dalam perjalanan yang bukan maksiat dan
sekurang-kurangnya 80,640 km)
Dari Syu’bah dia berkata, “ Saya
telah bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat. Jawabnya, Rasulullah
S.A.W “Apabila menempuh jarak perjalanan tiga farsakh Beliau shalat dua
raka’at.” (H.R Ahmad, Muslim dan Abu
Daud)
Ø Contoh pelaksanaan shalat jama’ taqdim (Dzuhur dan Ashar)
sekaligus Qashar
Niat:
Ushalli fardhadz dzuhri majmuu’an ilaihil
‘ashru jam’a taqdimin qashran lillahi ta’ala. (Allahu Akbar)
Aku
menyengaja melaksanakan shalat fardhu dhuhur dengan shalat ashar jama’ taqdim
dan qashar karena Allah ta’ala.
Setelah
dapat dua raka’at shalat dhuhur, lalu salam. Kemudian langsung berdiri
takbiratul ihram untuk shalat ashar dua raka’at lalu ditutup dengan salam.
Ø Contoh pelaksanaan shalat jama’ taqdim (maghrib dan
‘isya) sekaligus Qashar
Niat:
Ushalli fardhal maghribi majmuu’an
ilaihil ‘isya’i jam’a taqdimin qashran lillahi ta’ala. (Allahu Akbar)
Aku
menyengaja melaksanakan shalat fardhu maghrib dengan shalat isya’ jama’ taqdim
dan qashar karena Allah ta’ala.
Setelah
dapat tiga raka’at shalat maghrib lalu salam, kemudian langsung berdiri
takbiratul ihram untuk shalat isya’ dua raka’at lalu ditutup dengan salam.
Ø Contoh pelaksanaan shalat jama’ takhir (Dzuhur dan Ashar)
sekaligus Qashar
Niat: Ushalli
fardhadz dzuhri majmuu’an bil ‘ashri jam’a takhirin qashran lillahi ta’ala.
(Allahu Akbar)
Aku
menyengaja melaksanakan shalat fardhhu dhuhur dengan shalat ashar jama’ takhir
dan qashar karena Allah ta’ala.
Setelah
dapat dua raka’at shalat dhuhur lalu salam, kemudian langsung berdiri
takbiratul ihram untuk shalat asar dua raka’at. Lalu ditutup dengan salam
Ø Contoh pelaksanaan shalat jama’ takhir (maghrib dan
‘isya) sekaligus qashar
Niat:
Ushalli fardhal maghribi majmuu’an bil
‘isya’i jam’a ta’khirin qashran lillahi ta’ala. (Allahu Akbar)
Aku
menyengaja melaksanakan shalat fardhu maghrib dengan shalat isya’ jama’ ta’khir
dan qashar karena Allah ta’ala.
Setelah dapat
tiga raka’at shalat maghrib lalu salam, kemudian langsung berdiri takbiratul
ihram untuk shalat isya’ dua raka’at. Lalu ditutup dengan salam.
Allah berfirman,
"Dan apabila kamu
bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar salatmu, jika
kamu takut di serang orang-orang kafir" ( QS. An-Nisaa': 101)
Dari Ya'la bin Umayyah
bahwasanya dia bertanya kepada Umar ibnul Kaththab tentang ayat ini seraya
berkata: "Jika kamu takut di serang orang-orang kafir", padahal
manusia telah aman ?!. Sahabat Umar menjawab: “Aku sempat heran seperti
keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam tentang hal itu dan beliau menjawab: (Qashar itu) adalah sedekah dari
Allah kepadamu, maka terimahlah sedekah Allah tersebut”” (HR. Muslim)
Dari Ibnu Abbas berkata:
“Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu shallallahu ‘alaihi wasallam
empat raka'at apabila hadhar (mukim) dan dua raka'at apabila safar" (HR.
Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud)
Dari Umar berkata:
“Shalat safar (musafir) adalah dua raka'at, shalat Jum'at adalah dua raka'at
dan shalatIed adalah dua raka'at" (HR. Ibnu Majah dengan sanad shahih,
lihat Shahih Ibnu Majah 871)
Dari Ibnu Umar
berkata:Aku menemani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam safar dan
beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku
menemani Abu Bakar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai
wafat, kemudian aku menemani Umar dan beliau tidak pernah menambah atas
duaraka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman dan beliau tidak pernah
menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah subhanahu wa ta'ala telah
berfirman :Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu." (Al-Ahzaab : 21) (HR. Bukhari dan Muslim)
Berkata Anas bin Malik:
Kami pergi bersama Rasulullah dari kota Madinah ke kota Mekkah, maka beliaupun
shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Jarak Shafar yang
Dibolehkan Men-qashar
Qashar hanya boleh di
lakukan oleh musafir -baik safar dekat atau safar jauh-, karena tidak ada dalil
yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian
boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa di sebut safar menurut
pengertian umumnya. Sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih
dari delapan puluh kilo meter agar tidak terjadi kebingunan dan tidak rancu,
namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil sahih yang jelas. (Pendapat Ibn
Hazm, Ibnul Qayyim, dll. Sebagaimana dalam Kitab As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah
Ath-Thayyar 160-161, Al-Wajiz, Abdul ‘Azhim Al-Khalafi 138)
Apabila terjadi kerancuan
dan kebingungan dalam menetukan jarak atau batasan diperbolehkannya mengqashar
shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan
batasan tersebut –yaitu sekitar 80 atau 90 kilo meter-, karena pendapat ini
juga merupakan pendapat para imam dan ulama yang layak berijtihad. (Majmu'
Fatawa wa Rasail Syaikh Utsaimin 15/265)
Seorang musafir
diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampung
halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. (Kitab Al-Wajiz, Abdul
‘Azhim al-Khalafi)
Berkata Ibnul Mundzir:
Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota
Madinah.
Berkata Anas: Aku shalat
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di kota Madinah empat raka’at
dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka'at" (HR. Bukhari dan
Muslim)
Sampai Kapan Musafir
Dibolehkan Men-qashar?
Para ulama berbeda
pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir
dan diperbolehkan meng-qashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama
yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali
rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama
yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-sa'di,
Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah
berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk meng-qashar shalat selama
ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun ia berada di
perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang sahih
dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan
pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak,
diantaranya:
Jabir meriwayatkan,
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua
puluh hari men-qashar shalat. (HR. Ahmad dengan sanad shahih)
Ibnu Abbas meriwayatkan,
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Makkah selama
sembilan belas hari meng-qashar shalat. (HR. Bukhari)
Nafi' rahimahullah
meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar tinggal di Azerbaijan selama enam bulan
men-qashar shalat. (HR. Baihaqi dengan sanad shahih)
Dari dalil-dalil diatas
jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memberikan batasan
waktu tertentu untuk diperbolehkannya meng-qashar shalat bagi musafir
(perantau) selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya
dan tidak berniat untuk menetap di daerahperantauan tersebut. (Majmu’ Fatawa
Ibn Utsaimin dan Irwa’ul Ghalil Syaikh Al-Albani)
Shalat Tathawwu, Nafilah,
atau Shalat Sunnah bagi Musafir
Jumhur ulama (mayoritas)
berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat nafilah/ tathawwu bagi
musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah yang merupakan sunnah rawatib
(qobliyah dan ba'diyah) maupun yang lainnya. Dalil mereka adalah bahwasanya
Rasulullah shalat delapan raka’at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu
Makkah dan beliau dalam keadaan safar. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebagian ulama
berpendapat bahwa yang di syari'atkan adalah meninggalkan (tidak mengerjakan)
shalat sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) saja ketika safar, dalil mereka
adalah riwayat dari Ibnu Umar bahwasanya beliau melihat orang-orang (musafir)
yang shalat sunnah rawatib setelah selesai shalat fardhu, maka beliaupun
berkata: Kalau sekiranya aku shalat sunnah rawatib setelah shalat fardhu
tentulah aku akan menyempurnakkan shalatku (maksudnya tidak mengqashar). Wahai
saudaraku, sungguh aku menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian
aku menemani Abu Bakar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai
wafat, kemudian aku menemani Umar dan beliau tidak pernah menambah atas dua
raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman dan beliau tidak pernah
menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta'ala telah
berfirman : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagimu” (QS. Al-Ahzaab: 21) (HR. Bukhari. Lihat Zaadul Ma'ad,
Ibnul Qayyim 1/315-316, 473-475, Fiqhus Sunah 1/312-313, Taudhihul
Ahkam, Al-Bassam 2/223-229. Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/254)
Adapun shalat-shalat
sunnah/nafilah/tathawwu' lainnya seperti shalat malam, witir, sunnah fajar,
dhuha, shalat yang ada sebab –sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid- dan tathawwu
muthlak adalah tidak mengapa dilakukan dan bahkan tetap di syari'atkan
berdasarkan hadis-hadis sahih dalam hal ini. (Kitab As-Shalah, Abdullah
Ath-Thayyar)
Jama’
Menjama' shalat adalah
mengabungkan antara dua shalat (Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan 'Isya') dan
dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan jama' taqdim
dan jama'ta'khir.
Jama' taqdim adalah
menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama, yaitu;
Zhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Zhuhur, Maghrib dan 'Isya' dikerjakan
dalam waktu Maghrib. Jama' taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana
urutan shalat dan tidak boleh terbalik.
Adapun jama' ta'khir
adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu;
zhuhur dan ashar dikerjakan dalam waktu ashar, Maghrib dan 'Isya'dikerjakan
dalam waktu, Isya', Jama' ta'khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula
tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (Fatawa
Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah
Ath-Thayyar 177)
Menjama' shalat boleh
dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya - baik musafir atau bukan- dan
tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika
diperlukan saja.
Termasuk udzur yang
membolehkan seseorang untuk menjama' shalatnya dalah musafir ketika masih dalan
perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan, turunnya hujan, dan orang sakit.
(Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/310, Al-Wajiz, Abdul Azhim bin
Badawi Al-Khalafi 139-141)
Berkata Imam Nawawi:
“Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama'
shalatnya apabila di perlukan asalkan tidak di jadikan sebagai kebiasaan."
(Syarh Muslim, Imam Nawawi 5/219)
Dari Ibnu Abbas berkata,
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama antara zhuhur dengan
ashar dan antara maghrib dengan isya' di Madinah tanpa sebab takut dan safar
(dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu
kepada Ibnu Abbas beliau menjawab: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak ingin memberatkan ummatnya. (Shahihul Jami’ 1070)
Menjama’ Jum’at dengan
Ashar
Tidak diperbolehkan
menjama' (menggabung) antara shalat Jum'at dan shalat Ashar dengan alasan
apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun
dia adalah orang yang di perbolehkan menjama' antara zhuhur dan ashar.
Hal ini di sebabkan tidak
adanya dalil tentang menjama' antara Jum'at dan Ashar, dan yang ada adalah
menjama' antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya'. Jum'at tidak
bisa diqiyaskan dengan zhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya.
Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka
silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya
karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: Barang siapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini
(dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak. (HR.
Bukhari 2697 dan Muslim 1718)
Dalam riwayat lain:
Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada
ajarannya) maka amalannya tertolak. (HR. Muslim)
Jadi kembali kepada hukum
asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali apabila
ada dalil yang membolehkan untuk menjama’ (menggabungnya) dengan shalat lain. (Majmu'
Fatawa Syaikh Utsaimin 15/ 369-378)
Jama’ Sekaligus Qashar
Tidak ada kelaziman
antara jama' dan qashar. Musafir di sunnahkan mengqashar shalat dan tidak harus
menjama', yang afdhal bagi musafir yang telah menyelesaikan perjalanannya dan telah
sampai di tujuannya adalah mengqashar saja tanpa menjama' sebagaimana dilakukan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada di Mina pada waktu haji
wada', yaitu beliau hanya mengqashar saja tanpa menjama, (lihat dalam Shifat
Haji Nabi, karya Syaikh Al-Albani) dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
pernah melakukan jama'sekaligus qashar pada waktu perang Tabuk. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam selalu melakukan jama' sekaligus qashar apabila
dalam perjalanan dan belum sampai tujuan (Pendapat Syaikh Bin Baz dan ulama
lain, lihat Kitab As-Shalah, Abdullah At-Thayyar). Jadi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sedikit sekali menjama' shalatnya karena beliau shallallahu
‘alaihi wasallam melakukannya ketika diperlukan saja. (Taudhihul Ahkam,
Al-Bassam 2/ 308)
Musafir Shalat di
Belakang Imam yang Mukim
Shalat berjama’ah adalah
wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat di
belakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat
rakaat, namun apabila dia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar
(dua raka'at). Hal ini di dasarkan atas riwayat sahih dari Ibnu Abbas. Berkata
Musa bin Salamah: Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas,
lalu aku bertanya: Kami melakukan shalat empat raka'at apabila bersama kamu
(penduduk Mekkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama
musafir) maka kami shalat dua raka'at ? Ibnu Abbas menjawab: Itu adalah
sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam)Ӭ
(HR. Ahmad dengan sanad shahih, lihat Irwa'ul Ghalil no 571)
Musafir Menjadi Imam bagi
yang Mukim
Apabila musafir dijadikan
sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar shalatnya maka hendaklah
orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (empat raka'at),
namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu
makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim)
meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia
(imam) salam dari dua raka'at. Hal ini pernah di lakukan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk
Mekkah, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Sempurnakanlah shalatmu
(empat raka’at) wahai penduduk Mekkah ! Karena kami adalah musafir.” (HR. Abu
Daud)
Beliau shallallahu
alaihi wa'ala alihi wasallam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan
sampai empat raka'at setelah beliau salam. (Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin
15/269)
Apabila imam yang musafir
tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat empat raka'at (tidak
mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah sunnah mu'akkadah
dan bukan wajib. (Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-
Bassam 2/294-295)
Shalat Jum’at bagi
Musafir
Kebanyakan ulama
berpendapat bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi usafir, namun apabila musafir
tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum'at maka wajib atasnya
untuk mengikuti shalat um'at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik,
imam Syafi'i, Ats-Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. (Al-Mughni, Ibnu
Qudamah 3/216, Al-Majmu' Syarh Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, Majmu'
Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370)
Dalilnya adalah
bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam apabila safar (bepergian)
tidak shalat Jum'at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada' Beliau shallallahu
‘alaihi wasallam tidak melaksanakan shalat Jum'at dan menggantinya dengan
shalat Dhuhur yang dijama' (digabung) dengan Ashar. Demikian pula para Khulafa
Ar-Rasyidun (empat khalifah) dan para sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhuma
serta orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum'at dan
menggantinya dengan zhuhur.
Dari Al-Hasan Al-Basri,
dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: “Aku tinggal bersama dia (Al-Hasan
Al-Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat
Jum'at"
Sahabat Anas tinggal di
Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum'at.
Ibnul Mundzir
-rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah Ijma' (kesepakatan para ulama') yang
berdasarkan hadis sahih dalam hal ini sehingga tidak di perbolehkan
menyelisihinya. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216.)
Wallahu A'lam.